welcome to my blog

jangan bosen untuk kembali lagi dan berilah komentar :D

MY BLOG

YOU'RE WELCOME

home

Rabu, 23 Juni 2010

PUASA DAN LEBARAN DI TERALI BESI

Safarona menghisap cerutunya kuat-kuat lantas menghempaskan asapnya perlahan. Begitu berat menjalani hidup ini sendiri, desahnya. Kehidupan yang awalnya manis saat-saat bersama suami serta anak-anaknya kini semuanya beralih pahit. Kebahagiaan dalam rumah tangganya terampas oleh suatu bencana. Ia mulai menghisap barang-barang yang sarat nikotin itu kira-kira sebulan setelah bencana itu berakhir. Benarkah, ketabahan itu melepuh oleh adanya suatu bencana.

Kurang lebih lima bulan lalu, sabtu jam 05.53 WIB gempa bumi melanda kota Jogja yang menurut BMG memiliki kekuatan 5,9 Skala Richter dengan kedaaman 33 km di bawah laut selatan. Suami dan kedua anaknya menggelepar berjejer dalam keadaan tidak bernyawa laiknya serakan ikan asin yang dijemur nelayan di bawah terik sinar matahari. Air matanya tumpah, ia terus menangis sampai dua buah anak sungainya tidak mampu mengalirkan air lagi. Barangkali sudah kering. Timbul penyesalan yang amat sangatdalam hatinya, kenapa dirinya tidak ikut bersama-sama mereka terbang dialam Swarga Loka yang terdapat buah-buahan ranum yang menggelawat pada pohon yang rendah. Mengitari air susu, madu, tuak yang dialirkan sebuah sungai.

Maniskah suatu kematian ? Tanyanya dalam hati. Ia tak pernah tahu, tapi ia sangat paham satu hal, betapa pahit yang ditinggalkan. Janda yang masih dibilang muda, orang sekarang menyebutnya janda kembang itu menyibak gorden jendela. Desir angin menyisir rambutnya yang kusam dan tak terawatt. Ia tidak memiliki gairah untuk merias dirnya lagi. Karena ia piker untuk siapa lagi ia mempercantik diri?

Sayup-sayup telinganya menangkap gelegak tua-muda diiringi dengan bunyi-bunyian dari kentongan, gallon air minum mineral, timba membahana mengambang dalam angina malam. Suara-suara itu semakin dekat. "Sahur, sahur, sahur, sahur ……….". "Halo Janda manis dan cantik ayo sahur!" mereka melambaikan tangannya kearah jendela dimana Safarona berdiri dengan iringan muntahan tawa yang memecah. Safarona menjamah wajahnya dengan telapak tangannya. Masih cantikkah aku ? tanyanya pada diri sendiri.

Mantan ibu dari dua anak itu memang elok. Terbukti, sebulan pasca gempa pak Samijo yang memiliki usia 45-an, orang yang terkenal kaya di kampungnya langsung melamarnya. Safarona menimbang-nimbang dengan perasaan bimbang waktu itu, antara menerima atau tidak. Selebihnya, iapun menolak lamaran orang yang mempunyai " lapangan golf" dikepalanya itu.

Karena lamaran itu tak ubahnya sebuah ejekan bagi dirinya. Lagi pula ia tak mau menodai air bening yang ia kumpulkan bersama suaminya dalam tanggul kesetiaan. "Siapa yang bermaksud menghina dik Safarona? Bukankah kita sama-sama mersa sendiri. Dik Safarona tidak punya suami, begitu juga saya yang ditinggal istri. Tentu kita tak mau munafik bagaimana rasanya hidup sendiri? Pahit sekali bukan?" Laki-laki berusia senja itu menatap wajah Safarona lekat-lekat dengan gumpalan pengharapan dalam hatinya.

Tetapi Safarona tetap menolak dan bahkan disertai dengan ancaman, kalau pak Samijo tidak pergi dia akan melemparnya dengan asbakyang berisi puntung rokok yang menggunung. Dengan langkah gontai pak samijopun meninggalkan Safarona. "Aku tetap menunggu. Barangkali suatu hari kamu berubah pikiran" pak Samijo melonmggarkan dasinya yang serasa mencekik lehernya lantas ia menyeret langkahnya ke luar.

Safarona benar-benar tidak bisa membendung emosinya, iapun melempar asbak itu ke arah pak samijo, tetapi asbak itu tidak mengenai pak Samijo, hanya mampu membelah angin.

Perempuan itu tersentak kaget. Ia terjaga dari alam lamunannya. Dari mana asalnya ia mendengar lengkinga kalimat : Ya ayyuhal ikhwan. Qodaanaa waktld imsyak. Iyyakum, wal akla wa syarba waghaira zhalik Buru-buru ia mencampakkan cerutunya memasukkan sedikit makanan ke dalam mulutnya. Tiba-tiba ia tersedak masa silam yang penuh untaian intan kebahagiaan yang tersulam. Tahun lalu, ia masih melahap makan sahur bersama Sukiman, suaminya dan kedua anaknya. Betapa nikmatnya makan bersama itu, pikirnya. Tampak lebih berat memang pekerjan Safarona sebagai ibu rumah tangga karena ia harus bangun lebih awal untuk menyiapkan hidangan untuk makan sahur. Namun, ia merasakan bayarannyapun amat mahal, yaitu kebahagiaan yang melimpah.

Mendadak mulutnya mengoarkan jerit yang amat panjang. Sudah Safarona rasakan, ia bakal merayakan lebaran sendiri, tak ada lagi anak-anak yang menyambar tangan lalu menciumnya, atau kecupan hangat pada kening dan pipi dari suaminya. Ia terdiam sjenak. Pandanganya tertuju pada pintu yang terketuk. Safaona menyeret langkahnya menuju pintu. Seorang laki-laki tua merangsek masuk dan mendorong paksa tubuh Safarona sampai kemeja makan. "Apa maunya pak samijo?" "Sudahlah jangan banyak bicara, Safarona. Sekarang kita mengarungi bahtera yang penuh kenikmatan". "Jangan, pak. Kalau tidak, aku akan menjerit". "Sudahlah jangan munafik. Kamu pasti merasakan kesepian ditinggal suami?" Tawa pak samijo meledak.

"Tak ada yang akan mendengar jeritanmu dalam keadaan hujan deras seperti ini". Tubuh tambun pak Samijo terus merangsek badan Safarona. Safarona terus berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan dari rengkuhan pria brusia lanjut itu. Tapi, tenaga pak Samijo lebih kuat.

Safarona merasakan tangannya memegang sebuah pisau. Dan iapun menghunjamkan tepat di kepala. Pak Samijo jatuh. Bukan hanya sampai disitu, Safarona terus menyarangkan pisau yang dibuat untuk mengupas buah-buahan itu kedadanya hingga beberapa kali. Darah segar membanjiri lantai.

Keesokan harinya, polisi hadir kerumah safarona tanpa diundang."Kami mendapatkan tugas untuk menangkap anda atas tuduhan pembumuhan. Ini surat tugasnya". Ujar salah satu dari keempat polisi itu dengan suara tegas. "Saya tidaak bersalaah, pak". Kami hanya menjalankan tugas. Nanti bisa anda jelaskan di pengadilan" salah satu polisi menyambar tangan Safarona dan memborgolnya. Selebihnya Safarona pun bertekuk- lutut pada kehendak polisi itu.

Meski Safarona meringkuk dalam terali besi, ia tidak pernah lalai menjalankan puasa sampai hari yang ke 29 hari. Ia rela hidup menderita di dunia asal di akhirat kelak ia bahagia.

Kini hari kebahagiaan umat islam itu tiba. Safarona mencucurkan air matanya. Sungguh pahit merayakan lebaran di penjara. Kalimat takbir terus menggema, tiba-tiba ia rasakan kalimat takbir itu menjelma menjadi pisau berkarat yang menyayat-nyayat jiwanya. Padahal, setahun lalu ia rasakan kalimat takbir itu tak ubahnya siraman air yang menyegarkan jiwanya yang kering.

Mungkinkah, karena dia tidak tabah oleh ujian Tuhan yang ditimpakan atas dirinya? Ataukah benteng imannya telah merapuh? Entahlah. Ia tidakmenemukan suatu jawaban pun. Yang ia rasakan sungguh hari raya sekarang berbeda Dibanding tahun lalu.

Oleh Mita Galuh Rahmawati


Tidak ada komentar:

Posting Komentar