welcome to my blog

jangan bosen untuk kembali lagi dan berilah komentar :D

MY BLOG

YOU'RE WELCOME

home

Sabtu, 20 Agustus 2011

pejabat negara korupsi uang separuh negara., who is he ???

sedikit data si eddy

Eddy Tansil (lahir tahun 1954) adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang keberadaanya kini tidak diketahui. Ia melarikan diri dari penjara Cipinang, Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996 saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun. Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri.

Sebuah LSM pengawas anti-korupsi, Gempita, memberitakan pada tahun 1999 bahwa Eddy Tansil ternyata tengah menjalankan bisnis pabrik bir di bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu Tian, di propinsi Fujian, China.

Pada tanggal 29 Oktober 2007, Tempo Interactive memberitakan bahwa Tim Pemburu Koruptor (TPK) - sebuah tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, dan Polri, telah menyatakan bahwa mereka akan segera memburu Eddy Tansil. Keputusan ini terutama didasari adanya bukti dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) bahwa buronan tersebut melakukan transfer uang ke Indonesia satu tahun sebelumnya.

sedikit kutipan berita yg ane dapat
Tentang sulitnya melaksanakan eksekusi itu bisa dilihat dari contoh-contoh di bawah ini. Pertama, aset tanah seluas 8.000 meter persegi di Pademangan, kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Tanah ini termasuk aset yang harus disita. Tapi upaya ini menemui ganjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Adik Eddy Tansil yang bernama Hartono Hadisurjo melalui verset membantah bahwa tanah itu milik Eddy Tansil. Hartono bahkan berani mengklaim bahwa lahan itu adalah miliknya atas nama PT Graha Mega Pratama, perusahaan tempat ia menjadi direktur utamanya. Oleh PN Jakarta Pusat, melalui sidang yang dipimpin Hakim I Gde Ketut Sukarata, 27 Maret 1996, Hartono dimenangkan. Alasannya, tanah tadi adalah milik Graha Mega, bukan milik Eddy Tansil.

Kedua, kesulitan serupa juga terjadi ketika penyitaan hendak dilakukan atas aset yang berupa dua buah pulau, di utara Kabupaten Serang, Jawa Barat, yaitu Pulau Tarahan dan Pulau Panjang. Dalam persidangan, kedua pulau tersebut, secara berturut-turut, diakui sebagai milik Eddy Tansil dan Indriana Tansil. Tapi, eksekusi penyitaan menemui kesulitan: pihak pemerintah daerah setempat juga menyatakan berhak atas kedua pulau tadi.

Ketiga, dan ini yang membuat pemerintah kecolongan, adalah aset lahan tempat pabrik Golden Key itu sendiri akan didirikan. Tanah seluas 60 ha, yang merupakan bagian terbesar dari lahan pabriknya, justru berstatus milik negara. Antara lain tanah ini pulalah yang dijadikan agunan untuk meminta kredit. Ini sebuah bukti bagaimana lihainya Eddy Tansil: bagaimana bisa, tanah negara dijadikan jaminan untuk meminta kredit kepada bank pelat merah? Apakah dengan demikian pemerintah harus menyita asetnya sendiri? Kata anak-anak Betawi: itu sama juga boong.

Tak berarti, dari perkara Eddy Tansil ini pihak Kejaksaan Agung tak berhasil menyita apa pun. Selama tahun 1996, Kejaksaan Agung telah berhasil menyita sejumlah aset Eddy Tansil dan diserahkan kepada Bapindo. Pada tanggal 12 Maret 1996, misalnya, Kejaksaan Agung menyerahkan uang kontan sejumlah sekitar Rp 46,3 miliar dan US$ 2.882. Tak dijelaskan oleh Kejaksaan Agung, uang milik Eddy ini disita dari mana.

Tiga hari berikutnya, 15 Maret 1996, menyusul diserahkan aset berupa tiga pabrik. Yakni, pabrik PT Graha Swakarsa Prima yang menguasai aset berupa lahan 164.927 meter persegi di kecamatan Bojonegara, Serang, Jawa Barat; pabrik PT Pusaka Warna Polyprophylene yang memiliki aset lahan seluas 99 ribu meter persegi, juga di kecamatan Bojonegara, Serang; dan pabrik PT Materindo Supra Metal Works yang luas tanahnya 51.255 meter persegi di Gunung Putri, Cibinong.

Tapi, tidak semua pabrik ini dalam keadaan beroperasi, malah PT Pusaka Warna, misalnya, masih berupa hamparan lahan kosong karena pabriknya belum dibangun. Hanya Materindo Supra Metal, pabrik perakitan komponen mesin, yang memang dalam keadaan aktif.

Pada tanggal 15 Maret 1996 juga disita dan diserahkan kepada Bapindo surat-surat tanah, bangunan, kendaraan bermotor dan peralatan kantor. Berapa persisnya nilai sejumlah aset yang diserahkan tersebut, hingga sekarang masih ditaksir oleh pihak Bapindo.

Selain itu, Kejaksaan Agung juga telah menyerahkan harta Eddy Tansil berupa aset PT Glasfibindo Indah, PT Hamparan Rejeki, dan aset PT Sukma Beta Sempurna. Dua perusahaan yang disebut pertama diserahkan kepada BDN, sedangkan yang disebut terakhir diserahkan kepada BBD. Terhadap aset ini bank-bank tersebut berhak untuk menguasai kepemilikan dan manajemennya. Atau juga, menjualnya. Tentang berapa besar nilainya, kedua bank pemerintah tersebut sedang menghitungnya.

Setelah Eddy Tansil kabur dari penjara, 4 Mei 1996 lalu, dilakukan juga penyitaan harta Eddy yang lain. Misalnya, pada tanggal 8 Mei 1996, Kejaksaan Agung menyita harta Eddy Tansil di Bank Danamon cabang Jakarta Kota lebih dari Rp 2,5 miliar. Dua hari kemudian, 10 Mei 1996, disita tanah, bangunan, dan peralatan pabrik PT Cilegon Multi Wahana Service dan tanah, bangunan, dan peralatan pabrik PT Dinamika Erajaya. Kedua pabrik ini berlokasi di desa Argawana, kecamatan Bojonegara, Serang, Jawa Barat.

Seperti telah disebutkan, terlambatnya penyitaan ini kemungkinan besar karena harta-harta itu tidak atas nama Eddy Tansil. Misalnya saja aset PT Cilegon Multi Wahana, secara formla ini adalah milik Nyonya Metty Hasan, saudara tiri Eddy. Menurut siaran pers Kejaksaan Agung, aset tersebut baru dipastikan sebagai milik Eddy Tansil setelah dilakukan pemeriksaan intensif terhadap diri Nyonya Metty Hasan.

Pada tanggal 10 Mei 1996 itu juga, Kejaksaan Agung menyita aset berupa dua bidang tanah. Yaitu, tanah seluas 358 meter persegi dan bangunan yang ada di atasnya yang terletak di Jl. Ciranjang No. 27, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan 528 meter persegi tanah dan bangunan yang ada di atasnya yang terletak di Jl. Wijaya Timur Raya No. 115, kelurahan Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tanggal 14 Mei 1996, Kejaksaan Agung juga menyita tanah seluas 1.550 meter persegi dan 4 bangunan di atasnya beserta isinya di kawasan peristirahatan Sirnagalih, Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Menurut Kejaksaan Agung, informasi mengenai keberadaan harta ini sebagai milik Eddy Tansil baru diperoleh tanggal 13 Mei 1996. Dan sampai pekan ini, belum jelas benar berapa persisnya nilai aset-aset tersebut.

Bila harta Eddy Tansil di dalam negeri saja sudah demikian sulit dilacak, apalagi yang ada di luar negeri. Untuk melacaknya saja, pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung dan Departemen Keuangan, menyewa jasa investigator Kroll Associates dari Amerika. Menurut Jaksa Muda Pidana Khusus Yunan Sawidji, Kejaksaan Agung juga menggerakkan Atase Kejaksaan di Hong Kong dan minta bantuan Kejaksaan Agung RRC. Untuk yang di luar negeri ini, kalau pelacakan membawa hasil, penyitaan, yang merupakan tahap berikutnya, bisa jadi lebih sulit lagi.

Sudah semestinya, upaya ini tidak berhenti di tengah jalan, setidaknya sampai harta negara yang harus ditarik kembali dari kasus ini kembali: Rp 1,3 triliun plus uang pengganti Rp 500 miliar. Sejauh ini, menurut Kepala Humas Kejaksaan Agung, selain rumah dan pabrik yang disita yang belum ditaksir nilainya, barulah uang kontan Rp 100 miliar yang diserahkan pada Bapindo sebagai sebagain pembayaran kerugina negara.

Tapi tak berarti setelah lunas semua, umpamanya, lalu boleh dilupakan pengejaran terhadap si terpidana yang kabur itu, yang berada di belakang pembobolan itu: Eddy Tansil.

Siapa tahu setelah harta-hartanya disita, hal-hal yang belum jelas sampai sekarang menjadi jelas. Misalnya, mengapa Eddy Tansil membeli saham milik Hutomo Mandala Putra, setelah kredit pertama cair. Juga, siapa sebenarnya yang memerintahkan mencairkan kredit dari Bapindo untuk Eddy. Sjahrial, salah seorang direktur Bapindo yang dijatuhi hukuman, bersikukuh di pengadilan bahwa sebelum mencairkan kredit itu ia bertemu Menteri Keuangan kala itu, Sumarlin. Tapi ternyata Menteri Sumarlin waktu itu berada di Irian Jaya, berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi. Adakah Sjahrial salah menyebut tanggal, atau salah menyebut orang?

Misteri apa yang dibawa lari oleh Eddy Tansil?




SUMBER: KASKUS